Universitas Gadjah Mada Biotekom
  • Beranda
  • Tentang Kami
    • Visi dan Misi
    • Hubungi Kami
  • Artikel
  • Forum
  • Portofolio
  • Beranda
  • Artikel
Arsip:

Artikel

Gene Mining & Metagenomics: Mengungkap Misteri Dunia Jasad Renik di Indonesia (Part 2)

Artikel Wednesday, 2 January 2019

[av_textblock size=” font_color=” color=” av-medium-font-size=” av-small-font-size=” av-mini-font-size=” custom_class=” admin_preview_bg=”]

Gene Mining & Metagenomics: Mengungkap Misteri Dunia Jasad Renik di Indonesia (Part 2)

oleh: Matin Nuhamunada, M.Sc.

Pada artikel sebelumnya, kita telah membahas bagaimana unculturable microorganism berpotensi untuk menghasilkan banyak novel products yang belum dieksplorasi sebelumnya. Namun, untuk dapat mengakses potensi ini, diperlukan pendekatan khusus dikarenakan sifatnya yang susah ditumbuhkan di laboratorium.

Ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk melakukan investigasi unculturable microorganism: (1) mengembangkan novel culturing techniques, atau (2) menggunakan culture independent methods dengan memanfaatkan teknologi Next-Generation Sequencing (NGS), yaitu studi Metagenom.

Novel culturing techniques

Teknik ini dikembangkan dengan cara menumbuhkan mikroorganisme di habitat atau medium aslinya. Teknik ini dikembangkan dengan membuat membran semi-permeabel yang dapat dilalui oleh nutrien tapi tidak dapat dilewati oleh sel. Setelah diperoleh single cell culture, kita dapat melakukan isolasi DNA yang mengkode protein of interest.  Salah satu teknik yang dikembangkan yaitu oleh Kaeberlein et al. (2002) dan Nichols et al. (2010). Kedua peneliti tesebut menggunakan diffusion chambers dengan skala mikro dan dapat digunakan untuk menumbuhkan dan mengisolasi uncultured microorganism di lingkungan aslinya (in situ). Keunggulan dari teknik ini adalah kita dapat melakukan uji fungsional, salah satunya dapat dikembangkan untuk mencari novel antibiotics (Ling et al., 2015).

Metagenomics

Studi Metagenom dapat didefinisikan sebagai “The study of genomes recovered from environmental samples rather than from clonal populations” (Hugenholtz & Tyson, 2008). Studi Metagenom adalah salah satu cara kita untuk mengeksplor potensi hayati yang dimiliki oleh unculturable microorganism, tanpa harus menumbuhkan mereka satu demi satu. Pada awalnya, metagenomic dilakukan dengan membuat koleksi DNA (library) dengan cara memecah genom dari lingkungan (environmental DNA), melakukan kloning, dan mentransformnya ke dalam host bacteria, seperti E. coli, kemudian melakukan screening melalui Sanger sequencing. Metode konvensional ini memerlukan banyak waktu dan tenaga. Seiring dengan perkembangan teknologi, kita bisa melewati tahapan kloning dan langsung melakukan random sequencing dengan menggunakan NGS.

Pada lima tahun terakhir ini, teknologi NGS sudah dapat diakses oleh peneliti Indonesia dengan harga yang relatif terjangkau. Dengan bermodalkan pengambilan sampel dari lingkungan dan mengisolasi environmental DNA (eDNA), kita dapat memanen gen-gen potensial dari lingkungan tanpa harus repot-repot melakukan isolasi bakteri dan menumbuhkannya di laboratorium.

Ingin tahu lebih dalam tentang teknologi NGS? Ikuti kelanjutannya di bagian ke-3 dari artikel ini.

 

Referensi

Hugenholtz, P. & Tyson, G. W. 2008. Microbiology: Metagenomics. Nature, 455, 481-483.

Kaeberlein, T., Lewis, K. & Epstein, S. S. 2002. Isolating “Uncultivable” Microorganisms in Pure Culture in a Simulated Natural Environment. Science, 296, 1127-1129.

Ling, L. L., Schneider, T., Peoples, A. J., Spoering, A. L., Engels,I., Conlon, B. P., Mueller, A., Schaberle, T. F., Hughes, D. E., Epstein, S.,Jones, M., Lazarides, L., Steadman, V. A., Cohen, D. R., Felix, C. R.,Fetterman, K. A., Millett, W. P., Nitti, A. G., Zullo, A. M., Chen, C. &Lewis, K. 2015. A new antibiotic kills pathogens without detectable resistance. Nature, 517, 455-459.

Nichols, D., Cahoon, N., Trakhtenberg, E. M., Pham, L., Mehta, A., Belanger, A., Kanigan, T., Lewis, K. & Epstein, S. S. 2010. Use of Ichip for High-Throughput In Situ Cultivation of “Uncultivable” Microbial Species. Applied and Environmental Microbiology,76, 2445-2450.
[/av_textblock]

Gene Mining & Metagenomics: Mengungkap Misteri Dunia Jasad Renik di Indonesia (Part 1)

Artikel Wednesday, 2 January 2019

[av_textblock size=” font_color=” color=” av-medium-font-size=” av-small-font-size=” av-mini-font-size=” custom_class=” admin_preview_bg=”]

Gene Mining & Metagenomics: Mengungkap Misteri Dunia Jasad Renik di Indonesia (Part 1)

oleh: Matin Nuhamunada, M.Sc.

Mikroorganisme adalah makhluk yang telah menjadi perhatian para pakar bioteknologi selama ini. Kenapa? Alasannya dikarenakan mikroorganisme memiliki kelimpahan dan keanekaragaman yang luar biasa! Dari keanekaragaman ini, kita dapat memperoleh berbagai manfaat, mulai dari protein tunggal, enzim, hingga konsorsium yang dapat digunakan untuk membuat bioreaktor yang stabil.

Gambar 1. Studi Metagenom dapat mengungkap informasi dari jasad renik yang tidak dapat ditumbuhkan di laboratorium (Ilustrasi: http://hulab.ucf.edu/research/projects/metagenomics/images/fig8.jpg)

Keanekaragaman mikroorganisme disebabkan oleh proses ekologis yang terjadi di habitat dimana mereka tinggal. Berbagai macam bioma dan mikrohabitat yang ada di bumi membuat mikroorganisme terseleksi, beradaptasi, dan berevolusi untuk dapat bertahan hidup pada kondisi lingkungan yang spesifik. Kunci dari proses ini terkode dalam sekuens DNA yang diterjemahahkan melalui ekspresi gen untuk memproduksi protein dan enzim tertentu.

Indonesia, sebagai zamrud di khatulistiwa, memiliki berbagai macam habitat unik yang ditinggali oleh beragam hewan, tumbuhan, dan mikrobia. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai sumber keanekaragaman genetik yang luar biasa. Dengan mengeksplorasi keanekaragaman hayati, terutama dari mikroorganisme, kita tidak akan kekurangan sumber protein dan enzim baru yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi berbagai produk bioteknologi modern.

Meskipun demikian, ada beberapa hal yang membuat kita tidak mampu mengakses seluruh potensi (genetik) yang ada di mikroorganisme, terutama yang berasal dari habitat ekstrim. Hal ini disebabkan sebuah peristiwa yang disebut sebagai “The Great Plate Count Anomaly”. Tidak semua mikroorganisme yang ada di alam dapat kita kultur di laboratorium. Kenyataannya, 99% dari mikroorganisme di alam tidak dapat kita kultur di laboratorium. Interaksi antar mikroorganisme, sumber nutrisi, dan faktor lingkungan yang ada di mikrohabitat asli, menciptakan sistem mikrohabitat yang sangat kompleks sehingga belum dapat kita tiru di laboratorium.

Padahal, unculturable microorganism sangat menarik untuk dikaji karena berpotensi menghasilkan banyak novel products yang belum dieksplorasi sebelumnya. Jadi, dapatkah kita mengambil sel, protein, enzim, atau gene of interest yang kita inginkan dari unculturable microorganism?

Baca kelanjutannya di bagian ke-2 dari artikel ini.
[/av_textblock]

[av_textblock]

[/av_textblock]

Internet of Thing, Sudahkah Anda Menjadi Bagiannya?

Artikel Thursday, 22 November 2018

[av_textblock size=” font_color=” color=” av-medium-font-size=” av-small-font-size=” av-mini-font-size=” custom_class=” admin_preview_bg=”]

Internet of Thing, Sudahkah Anda Menjadi Bagiannya?

Oleh: Aruna Bagas Kurniadi

Internet of Things (IoT), istilah yang pertama kali mengemuka sekitar tahun 2008 hingga 2009 yang biasanya juga disebut Internet of Objects1. Kehadiran IoT akan mengubah tatanan masyarakat, termasuk diri kita. Segala aspek dalam masyarakat sekarang sudah terhubung melalui internet, baik berupa komunikasi, pendidikan, bisnis, sains, pemerintahan, dan kemanusiaan. Maka dari itu, tidak berlebihan rasanya apabila kehadirannya akan mengubah segalanya karena kekuatan internet sudah tertanam dalam setiap proses kehidupan.

Kehadiran internet tidak bisa dipisahkan dengan perangkat pendukungnya, seperti smartphone Anda, laptop, dan komputer. IoT memiliki kebermanfaatan berupa menghubungkan konektivitas internet tadi ke perangkat yang tidak dapat mendukung internet. Dengan demikian, perangkat yang tidak dapat dihubungkan ke internet dapat secara rutin diawasi dan dikontrol penggunaannya. Tidak seperti internet dengan spesifikasi standar, IoT memiliki arsitektur yang tidak bisa diseragamkan. Sistem IoT sangat rumit namun memiliki manfaat yang jauh lebih besar. Contoh aplikasi IoT dalam bidang biologi yaitu pengamatan lingkungan. Dalam pengambilan data, area yang besar tentu menjadi kendala utama dalam prosesnya. Sehingga penggunaan IoT dapat memudahkan proses pengambilan data menggunakan sensor. Pengamatan disini bisa berupa pengawasan terhadap kualitas air, kondisi atmosferik maupun tanah, hingga pengamatan pergerakan di alam bebas3. Selain itu, penggunaan IoT juga bisa dilakukan untuk mengamati pasien. Pengamatan pasien tiap dua hingga tiga hari tentu mempekerjakan banyak tenaga ahli dan biaya yang besar. Namun, dengan investasi di bidang IoT ini, pasien hanya perlu menggunakan berbagai perangkat pendukung -bukan hanya wearable fitness watch– yang kemudian akan diterima oleh dokter dalam bentuk yang sama. Dengan demikian, dokter dapat memberikan prognosis yang lebih baik, jenis perawatan terbaik, pencegahan awal, hingga pilihan gaya hidup untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan.

Tabel 1. Contoh subjek yang berkaitan dengan IoT2

Relevansi Contoh Subjek
Tertinggi Teknik informasi dan komunikasi, ilmu elektronik dan teknologi, ilmu komputer dan teknologi
Sangat Tinggi Teknik mesin, teknik optikal
Tinggi Kimia, biologi, fisika, matematika, teknik transportasi, ilmu penerbangan, arsitektur, teknik pertanian, teknik biomedis
Menengah Hukum, manajemen publik, ekonomi terapan
Rendah Seni, arkeologi

Bidang pendidikan dan pengajaran juga akan sangat terbantu dengan kehadiran IoT. Pengajaran tidak hanya sebatas pertemuan tatap muka saja. Dengan adanya IoT, pengajaran bisa dimulai dengan pengamatan pertumbuhan tanaman gurun yang diawasi dari negara tropis.

Maka dari itu, IoT brings the world to your eyes.

1D.Evans. 2011. The Internet of Things: How the Next Evolution of the Internet is Changing Everything. Cisco Internet Business Solution Group.

2H.Ning and S. Hu. 2012. Technology classification, industry, and education for Future Internet of Things. Int. J. Commun. Syst. 25 :1230–1241.

3L.Shixing, W. Hong, X. Tao, Z. Guiping. 2011. Application Study on Internet of Things in Environment Protection Field. Lec Not in Electrical Engineering. 133. pp. 99–106. doi:10.1007/978-3-642-25992-0_13. ISBN 978-3-642-25991-3.

4M.Hassanalieragh, A. Page, T. Soyata, G. Sharma, M. Aktas, G. Mateos, B. Kantarci, S. Andreescu. 2015. Health Monitoring and Management Using Internet-of-Things (IoT) Sensing with Cloud-based Processing: Opportunities and Challenges. IEEE International Conference on Services Computing. P.285-292. DOI 10.1109/SCC.2015.47.
[/av_textblock]

Prof. Moeso Suryowinoto Peletak Pondasi Bioteknologi Anggrek Indonesia

Artikel Thursday, 26 October 2017

Fakultas Biologi UGM dikenal sebagai pusat kegiatan peranggrekan di tanah air. Hal ini tidak lepas dari sumbang sih seorang ahli anggrek di Indonesia sekaligus sebagai salah satu pendiri Perhimpunan Anggrek Indonesia (PAI), Prof. Moeso Suryowinoto. Menurut seorang pakar Bioteknologi Anggrek Indonesia, Dr. Endang Semiarti, Fakultas Biologi, pada saat itu, memiliki tiga Greenhouse untuk tanaman anggrek. Pada tahun 1976, Prof. Moeso membangun Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan (sekarang Laboratorium Bioteknologi-Red) dengan menjual mobil pribadi/keluarga. Di Lab tersebut kegiatan peranggrekan, terutama kultur in vitro untuk penanaman biji anggrek dan perbanyakan klonal dilakukan sampai sekarang. Pada saat itu koleksi anggrek Fakultas Biologi sangat bervariasi, banyak jumlahnya dan sangat cantik, sehingga tak heran jika banyak para penganggrek yang berkunjung dan ingin belajar tentang budidaya anggrek ke Fakultas Biologi.

Transfer Gen Anggrek, Selamatkan Plasma Nutfah

Artikel Thursday, 26 October 2017

Dosen Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, Dr Endang Semiarti, meraih penghargaan pertama Nagoya International Orchid Congress (NIOC), mengalahkan 156 peneliti dari 36 negara. Endang berhasil menemukan teknologi perbanyak massal tanaman anggrek melalui metode transfer gen, sebuah terobosan baru dalam budidaya anggrek.

Tanaman yang digunakan Endang sebagai bahan penelitian adalah anggrek jenis Phalaenopsis amabilis atau anggrek bulan. Mwtode transfer gen yang dilakukan Endang pada dasarnya adalah meletakkan gen kunci pertumbuhan tunas. Dengan metode ini, dari satu embrio tanaman anggrek bisa dihasilkan 90 tanaman baru dengan jenis yang sama dan dengan kualitas yang sama.

“Selama ini, perbanyakan tanaman anggrek menggunakan sistem split anakan atau dengan teknik kultur jaringan. Kedua metode ini hanya menghasilkan satu anakan. Sementara dengan metode tranfer gen ini, satu embiro akan menghasilkan 90 tanaman baru. Ini terobosan baru dalam budidaya anggrek,” kata Endang Semiarti.

Salah satu kendala budidaya anggrek menurut Endang adalah lamanya waktu pertumbuhan. Dengan teknologi alami, atau perbanyakan anakan, anggrek bulan butuh waktu tiga tahun sampai berbunga. Dengan teknik kultur jaringan, hanya dibutuhkan waktu dua tahun. Sementara dengan metode transfer gen ini, menurut Endang, hanya butuh waktu satu tahun.

NIOC Encouraged Award 2009 merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan bersamaan acara Nagoya International Orchid Show, Jepang, ini memberikan penghargaan kepada peneliti dengan hasil penelitian terbaik tiap tahunnya. Pada even ini Endang dinobatkan sebagai pemenang pertama, mengungguli dari 159 peserta peneliti dari 36 negara diantaranya Jepang, Taiwan, Thailand, Singapura, Inggris dan beberapa negara Eropa lainnya.

Endang yang meneliti anggrek sejak tahun 2001 ini mengaku prihatin dengan kondisi peranggrekan di Indonesia. Dari 20.000 jenis anggrek di dunia, 5.000 jenis diantaranya berada di Indonesia. “Dari 5.000 jenis tersebut, baru 1.500 jenis yang sudah bisa diidentifikasi. Siasanya belum sempat teridentifikasi, bahkan dikhawatirkan sudah punah sebelum sempat teridentifikasi akibat laju perusakan hutan,” ujarnya.

Menurut Endang, penelitian tentang anggrek di Indonesia sangat tertinggal dengan Taiwan, Thailand dan Singapuran. “Padahal, Taiwan dan Singapura sama sekali tidak memiliki anggrek alami. Mereka hanya memiliki teknologi,” ujarnya. Negara terkemuka di bidang peneltian anggrek, menurut Endang, adalah Taiwan. “Penelitian anggrek di Taiwan didanai oleh pemerintah,” ungkapnya.

Saat ini Endang tengah melakukan penelitian budidaya anggrek hitam yang merupakan tanaman asli Kalimantan. Penelitian dilakukan di Fakultas Biologi UGM. Menurut Endang, di habitat aslinya di Kutai, Kalimantan, populasi anggrek hitam makin menipis. Selain karena perburuan manusia juga makin menyempitnya hutan akibat penebangan atau kebakaran.

Menjaga Kelestarian Genetik Anggrek Khas Merapi

Artikel Thursday, 26 October 2017

Foto : Koran Jakarta/Eko Sugiarto Putro

Indonesia tercatat sebagai negara nomor dua setelah Brasil yang memiliki keanekaregaman hayati terbesar di dunia. Namun, khusus untuk anggrek, Indonesia adalah negara yang memiliki koleksi asli terbesar di dunia sehingga disebut sebagai negara mega bio diversity anggrek.

Dari total 30 ribu koleksi anggrek yang hidup di seluruh muka bumi, lebih dari 5 ribu ditemukan di Indonesia.

“Tapi sayangnya karena kekurangpedulian kita, saat ini diperkirakan hanya tinggal 1500 jenis anggrek saja yang tersisa,” kata pakar sekaligus pelestari Anggrek dari Fakultas Biologi UGM, Endang Semiarti, beberapa waktu lalu, di pameran science di Graha Sabha UGM.

Dan dari 1500 jenis tersebut, kalau seluruh pemangku kepentingan tidak juga mengambil tanggung jawab, bisa dipastikan anggrekanggrek khas Indonesia di kemudian hari justru hanya bisa ditemui di negara lain.

Di Asia Tenggara, Thailand dan Singapura menjadi dua negara paling getol dalam mengembangkan varietas anggreknya.

Sementara, Endang yang mendedikasikan dirinya untuk pengembangan anggrek saja begitu kesusahan untuk melaksanakan penelitiannya.

“Untuk sequencing genetic anggrek, sampai saat ini kami masih perlu mengirimkan ke laboratorium di Thailand atau Singapura,” kata Endang.

UGM sebenarnya memiliki sequencing atau alat pembaca rangkaian genetik, namun alat tersebut hanya dimiliki oleh Fakultas Kedokteran sehingga antrian untuk menggunakan alat tersebut teramat panjang.

LIPI, juga memilikinya, tapi lagi-lagi, antrian terlalu panjang. Sementara di Singapura, setiap laboratorium baik kampus maupun industri, memiliki alat yang lengkap untuk mendukung proyek-proyek hulu tersebut.

Saat ini, Endang sedang mengembangkan varietas hibrida hasil perkawinan antara vanda tricolor, jenis anggrek ikonik Gunung Merapi dengan vanda limbata, anggrek asli Nusa Tenggara Barat. Vanda tricolor, menurut Endang, menjadi salah satu jenis anggrek yang memiliki daya tahan terhadap fluktuasi suhu lingkungan, terkuat di dunia.

Sangat Cantik

Bunganya yang baru keluar minimal saat usia 7 tahun, penampakannya kurang indah, namun wangi sekali. Akarnya juga mengandung semacam bio aktif yang terkait dengan kesuburan laki-laki.

Sementara vanda limbata adalah anggrek dengan bunga yang sangat cantik, bisa dikatakan salah satu anggrek khas Indonesia yang paling cantik. “Saya berusaha menggabungkan gen terbaik dari keduanya menjadi varietas baru yang kami namai gama anggrek.

Saat ini varietas baru tersebut sudah tumbuh bagus dan sedang kami lihat percobaan mana yang hasilnya paling konsisten,” kata Endang yang juga ketua Perkumpulan Anggrek Indonesia DIY.

Penelitian Endang, selain berguna untuk menghasilkan varietas anggrek unggul, juga berusaha menjaga kelestarian vanda tricolor dan seluruh warisan genetiknya.

Penelitian Endang juga memungkinkan pengembangan keilmuan lain, seperti farmasi, pertanian, maupun bidang-bidang lainnya. “Di negara maju, industri bisa maju karena hulunya, penelitian dasarnya, maju.

Dari anggrek saja, penelitian dan pengembangan genetiknya, bisa jadi dasar dari industri farmasi, parfum, pangan, atau industri nursery,” katanya.

Ya, di seluruh dunia, sebagai bunga pun anggrek adalah bunga yang prestisius. Anggrek adalah bunga yang tak mengenal tren. Di Indonesia, dari perkawinan sampai acara kenegaraan, selalu menggunakan anggrek sebagai penghias utama.

Dan ketahuilah bahwa anggrek-anggrek di setiap acara tersebut kini adalah anggrek impor. “Ini yang paling miris, dari beras, gula, sampai anggrek semua impor,” kata Endang. eko sugiarto putro/N-3

Menelisik Lebih Dekat Bakteri Endosimbion pada Ae. Aegypti dan Aktivitas Madu Hutan Riau sebagai Anti Bakteri

Artikel Monday, 4 September 2017

Yogyakarta, Kamis (31/08/17) Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Biologi UGM mengadakan sebuah agenda diskusi dan sharing hasil penelitian. Kegiatan ini merupakan salah satu agenda dwi pekanan yang bertujuan untuk menumbuhkan semangat meneliti dan memperdalam keilmuan mengenai objek-objek mikroBIOLOGI. Kegiatan ini dihadiri oleh Dosen, Peneliti dan Asisten Laboratorium. Kegiatan yang berdurasi 90 menit ini menghadirkan beberapa narasumber yang sedang melakukan penelitian di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Biologi UGM.

Pada kesempatan ini, narasumber yang dihadirkan yaitu Arum Sari, S.Si dan Muhammad Azri. Arum Sari, S.Si merupakan peneliti Thesis Pasca Sarjana di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Biologi UGM. Sedangkan Muhammad Azri merupakan mahasiswa S1 Fakultas Biologi UGM yang sedang menempuh skripsi. Dari hasil penelitiannya Arum memaparkan mengenai “Karakterisasi Bakteri Endosimbion Aedes aegypti dan Aktivitasnya terhadap Larva Aedes aegypti”. Penelitian ini bertujuan untuk menurunkan tingkat endemisitas penyakit Demam Berdarah di Indonesia. Karena pasalnya menurut data WHO, Tahun 2015, telah terjadi 30 juta kasus DBD di dunia dan 22 ribu orang meninggal dunia. Dan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Arum dan dibimbing oleh Prof. Dra. Endang Sutariningsih Soetarto, M.Sc., Ph.D. ini menjelaskan bagaimana bakteri endosimbion dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan larava Ae. Aegypti dan bahkan aktivitas bakteri endosimbion tersebut mampu mengakibatkan terjadinya perubahan sifat hingga mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti.

MicrobiologyLabMeeting2017_gb3

Dari hasil penelitian ini pula temukan bahwa terdapat 10 isolat bakteri endosimbion dari nyamuk Ae. Aegypti, yaitu berasal dari genus Bacillus, Staphylococcus, Bacteroides, Enterobacter, Streptococcus, serta bakteri gram negatif coccus. Dan 4 diantaranya memilki aktivitas antibiotik terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Genus Staphylococcus memiliki efek  mortalitas paling tinggi terhadap larva Aedes aegypty. Staphylococcus diketahui memproduksi toksin ekstraseluler (bacteriocin) yang disebut Staphylococcin, terutama pada Staphylococcus aureus yang merupakan bakteri patogen pada manusia maupun hewan.

Selain  itu, juga dipaparkan penelitian mengenai “Uji Antibakteri Madu Hitam dan Madu Sialang Hutan Riau terhadap Bakteri Staphylococcus aureus FNC 0047 dan Escherichia coli FNC 0018” oleh Muhammad Azri, penelitian yang dibimbing oleh Ibu Dr. Endah Retnaningrum M.Sc ini mengangkat tema mengenai aktivtas madu yang bermanfaat sebagai antibakteri. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya informasi mengenai kemampuan madu hitam dan madu sialang yang berasal dari Hutan Riau, khususnya daerah Taman Nasional Tesso nillo sebagai antibakteri. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk menguji secara ilmiah kebenaran dari informasi tersebut.

MicrobiologyLabMeeting2017_gb6

Dari hasil penelitiannya, Azri memaparkan bahwa pada konsentrasi 40% aktivitas antibakteri madu sialang tergolong paling kuat (Susceptible) terhadap bakteri Staphylococcus aureus FNCC 0047 sedangkan pada konsentrasi 80% aktivitas madu hitam tergolong paling lemah (Resistance) terhadap Escherichia coli FNCC 0018. Berdasarkan hasil uji total fenol pada kedua madu ini ditemukan pula bahwa total fenol yang dihasilkan oleh madu Sialang sebesar 0,4318% sementara pada madu hitam hanya sebesar 0,3465%.

Harapannya sharing hasil penelitian iini dapat bermanfaat bagi masyarakat Indonesia khususnya dalam meningkatkan potensi sumberdaya yang ada dan mampu meng explore kemampuan serta kapasitas diri untuk terus menempa dan meningkatkan skill meneliti yang baik demi terciptanya generasi yang handal, berkualitas dan kreatif. (*HanifaHanini)

Universitas Gadjah Mada

© Universitas Gajah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY