Gene Mining & Metagenomics: Mengungkap Misteri Dunia Jasad Renik di Indonesia (Part 2)
oleh: Matin Nuhamunada, M.Sc.
Pada artikel sebelumnya, kita telah membahas bagaimana unculturable microorganism berpotensi untuk menghasilkan banyak novel products yang belum dieksplorasi sebelumnya. Namun, untuk dapat mengakses potensi ini, diperlukan pendekatan khusus dikarenakan sifatnya yang susah ditumbuhkan di laboratorium.
Ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk melakukan investigasi unculturable microorganism: (1) mengembangkan novel culturing techniques, atau (2) menggunakan culture independent methods dengan memanfaatkan teknologi Next-Generation Sequencing (NGS), yaitu studi Metagenom.
Novel culturing techniques
Teknik ini dikembangkan dengan cara menumbuhkan mikroorganisme di habitat atau medium aslinya. Teknik ini dikembangkan dengan membuat membran semi-permeabel yang dapat dilalui oleh nutrien tapi tidak dapat dilewati oleh sel. Setelah diperoleh single cell culture, kita dapat melakukan isolasi DNA yang mengkode protein of interest. Salah satu teknik yang dikembangkan yaitu oleh Kaeberlein et al. (2002) dan Nichols et al. (2010). Kedua peneliti tesebut menggunakan diffusion chambers dengan skala mikro dan dapat digunakan untuk menumbuhkan dan mengisolasi uncultured microorganism di lingkungan aslinya (in situ). Keunggulan dari teknik ini adalah kita dapat melakukan uji fungsional, salah satunya dapat dikembangkan untuk mencari novel antibiotics (Ling et al., 2015).
Metagenomics
Studi Metagenom dapat didefinisikan sebagai “The study of genomes recovered from environmental samples rather than from clonal populations” (Hugenholtz & Tyson, 2008). Studi Metagenom adalah salah satu cara kita untuk mengeksplor potensi hayati yang dimiliki oleh unculturable microorganism, tanpa harus menumbuhkan mereka satu demi satu. Pada awalnya, metagenomic dilakukan dengan membuat koleksi DNA (library) dengan cara memecah genom dari lingkungan (environmental DNA), melakukan kloning, dan mentransformnya ke dalam host bacteria, seperti E. coli, kemudian melakukan screening melalui Sanger sequencing. Metode konvensional ini memerlukan banyak waktu dan tenaga. Seiring dengan perkembangan teknologi, kita bisa melewati tahapan kloning dan langsung melakukan random sequencing dengan menggunakan NGS.
Pada lima tahun terakhir ini, teknologi NGS sudah dapat diakses oleh peneliti Indonesia dengan harga yang relatif terjangkau. Dengan bermodalkan pengambilan sampel dari lingkungan dan mengisolasi environmental DNA (eDNA), kita dapat memanen gen-gen potensial dari lingkungan tanpa harus repot-repot melakukan isolasi bakteri dan menumbuhkannya di laboratorium.
Ingin tahu lebih dalam tentang teknologi NGS? Ikuti kelanjutannya di bagian ke-3 dari artikel ini.
Referensi
Hugenholtz, P. & Tyson, G. W. 2008. Microbiology: Metagenomics. Nature, 455, 481-483.
Kaeberlein, T., Lewis, K. & Epstein, S. S. 2002. Isolating “Uncultivable” Microorganisms in Pure Culture in a Simulated Natural Environment. Science, 296, 1127-1129.
Ling, L. L., Schneider, T., Peoples, A. J., Spoering, A. L., Engels,I., Conlon, B. P., Mueller, A., Schaberle, T. F., Hughes, D. E., Epstein, S.,Jones, M., Lazarides, L., Steadman, V. A., Cohen, D. R., Felix, C. R.,Fetterman, K. A., Millett, W. P., Nitti, A. G., Zullo, A. M., Chen, C. &Lewis, K. 2015. A new antibiotic kills pathogens without detectable resistance. Nature, 517, 455-459.
Nichols, D., Cahoon, N., Trakhtenberg, E. M., Pham, L., Mehta, A., Belanger, A., Kanigan, T., Lewis, K. & Epstein, S. S. 2010. Use of Ichip for High-Throughput In Situ Cultivation of “Uncultivable” Microbial Species. Applied and Environmental Microbiology,76, 2445-2450.